Ilmu Teknologi Pendidikan

04.36 Rabu, 04 Januari 2012


Dari Dalila Sadida - "saya jadi ingat saat sedang kuliah, hal macam ini(ketidakmerataan pendidikan) sudah cukup sering dibicarakan pak, namun rasanya masih "sebatas" dibicarakan, action nya? hm... tell me how sir? while I'm "just" an ordinary uni student. thank you in advance :)"

Phillip Rekdale @Dalila Sadida - Terima kasih

Kalau melihat keadaan, jelas ICT bukan solusinya.
http://teknologipendidikan.com/rasiokomputer.html

Masalah kita adalah, kita selalu mencari solusi ajaib, dan suka lewat yang betul adalah solusi (Can't see the forest because of the trees).

Kalau saya ingat pada tahun 1998-2000 waktu saya bekerja di Kemendiknas, saya masih ingat Pak Arief Rachman menyampaikan kepentingan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS) dan Pembelajaran Kontekstual (PAKEM) kepada Kepala Sekolah dengan pasion dan semangat yang sebelumnya saya belum pernah menyaksikan. Hebat!

Tetapi, kayaknya kita sudah lupa kata-kata beliau, dan sampai sekarang MBS dan Pembelajaran Kontekstual sudah ditinggalkan sebelum dilaksanakan, dan kita tidak mempunyai fondasi pendidikan.

MBS, PAKEM, dan TTG (TTG sudah ada di semua sekolah sekarang) masih adalah kuncinya untuk melaksanakan pendidikan yang bermutu, maupun 'meratakan pendidikan' karena berbasis kemampuan dan kreativitas guru, dan sampai sekarang otak guru masih adalah teknologi yang paling mampu melaksanakan pembelajaran yang efektif dan bermutu di Indonesia, maupun di luar negeri. Kita hanya perlu mengaktifkan otaknya :-)
Maupun siswa-siswi kita:
 http://teknologipendidikan.com/mengaktifkansiswa.html dan
http://teknologipendidikan.com/21stcenturylearning.html

Sejak akhirnya tahun 80an (di luar negeri) dan pada awal tahun 2000 (di sini), Audio-Visual Aids (alat bantu pembelajaran) dan Ilmu TP sudah mulai digeserkan sampai ada manusia yang kelihatannya percaya bahwa teknologi dapat mengajar lebih efektif daripada manusia.

Di mana kita ingin membentukkan perilaku orang dan menyampaikan informasi tertentupembelajaran berbasis-teknologi, seperti e-learning mempunyai peran, misalnya karyawan kantor, pilot, tentara, perawat, dll, di mana perilakunya adalah berbasis kebijakan dan seragam.

Tetapi di mana tujuan kita adalah mengembankan seorang sesuai kemampuan beliau secara individu, yang kreatif dan inovatif dan dapat mandiri maupun menghadapi tantangan baru, tidak ada pengganti untuk manusia (guru) dengan Appropriate Technology (TTG).

Menurut saya, cara meratakan pendidikan di Indonesia adalah meratakan SDMnya. Bukan oleh pelatihan dan penataran seperti zaman D4, tetapi oleh meningkatkan akuntabilitas guru untuk meningkatkan kemampuan sendiri (seperti di luar negeri) oleh informasi yang tepat yang dapat lewat media mana saja, tetapi jangan menggunakan e-learning karena yang kita paling tidak perlu adalah jutaan guru seperti robot :-) 

0 komentar:

Posting Komentar