Teknologi Pendidikan Untuk Masa Kini / Masa Depan
(Ilmuwan Teknologi Pendidikan Profesional)
Satu topik yang kita membahas kemarin yang menurut saya paling penting adalah Profesionalisme bidang Teknologi Pendidikan. Pada awal pembahasan kemarin saya sebut bahwa:

"Salah satu masalah di dunia teknologi pendidikan, luar negeri sama saja, adalah "skills" ilmuwan teknologi pendidikan sudah hilang. Solusinya sekarang selalu adalah komputer! Padahal sering yang paling cocok adalah peraga, realia, atau teknologi sederhana".
Ref: http://teknologipendidikan.com/teknologi.html
(http://teknologipendidikan.com/solusi.html#ilmuwan)

Pengalaman saya di Indonesia sudah membantu membuka mata saya lebih lebar terhadap masalah ini. Dulu saya merasa masalah ini terjadi karena kolega-kolega dan teman-teman saya (TPers) sendiri selalu mengarah ke teknologi baru karena seperti saya sendiri menyukai belajar mengenai teknologi baru, menghadapi tantangan-tantangan baru dan berpartisipasi dalam perkembangan baru.

Tetapi sekarang kalau saya "reflect" pada isu-isu di luar negeri dulu mungkin juga bukan kolega TPer yang salah.Apakah Kami Salah - atau kami diantar ikut jalan ini?

Saya masih ingat waktu transisi TP sebagai profesi mulai mengarah ke yang saya suka sebut Era "joki teknologi baru". Saya mengalami transisi itu antara tahun 1988 dan 1993 waktu saya bekerja sebagai Technical Officer di Centre for Language Teaching and Research di salah satu universitas di Queensland, Australia.

Dari administarsi departemen kami sering ada peraturan baru untuk meminimalkan biaya "consumables" misalnya kertas untuk photocopier, film untuk OHP, pena untuk whiteboard dan dll karena anggarannya sangat terbatas, katanya. Padahal kalau ada dosen yang meminta 20 komputer untuk membuat lab komputer untuk percobaan pembelajaran lewat komputer anggaran biasanya disediakan.

Kelihatannya kalau dosen perlu bahan dasar yang terkait langsung dengan mutu pembelajarannya beliau dapat disulitkan. Tetapi kalau beliau meminta beberapa komputer untuk program yang "belum tentu meningkatkan mutu pendidikan sama sekali" beliau dapat dibantu. Aneh menurut saya tapi nyata!

Ini bukan hanya fenomena yang pengaruhi consumables tetapi kalau dosen ingin membuat audio casettes, film, video, atau menggunakan media yang lain kelihatannya sering tidak begitu diperhatikan oleh administrasi di universitas. Mengapa begini?

Saya yakin untuk mengerti masalah ini kita perlu mengerti sifatnya politiks di universitas. Walapun universitas ini adalah universitas umum dan disubsidi oleh pemerintah mereka selalu sangat konsern terhadap status umum maupun akademik. Status dapat mempengaruhi jumlah dan prestasi pelajar yang ingin masuk kampusnya, maupun status juga dapat mempengaruhi grants oleh pemerintah, lembaga-lembaga lain, atau dari sektor bisnis, yang biasanya untuk penelitian.

Salah satu cara untuk mendapat perhatian oleh pers dan lembaga lain adalah menjalakan penelitian yang menggunakan teknologi terbaru (being seen to be on the cutting-edge - dilihat sebagai pelopor). Ini adalah mind-set yang kelihatannya berdominasi pada waktu itu. Isu-isu mutu pendidikan, maupun efektivitas bukan prioritas, apa lagi harganya bukan isu terpenting lagi.

Mungkin ini tidak terlalu sulit dipahami kalau kita melihat pada zaman itu juga di Indonesia, apa lagi pada waktu 1982 sampai 1990. Karena saya sudah banyak pengalaman dengan lab bahasa dan bekerja di proyek yang high-tech saya sering dipanggil oleh sekolah-sekolah bahasa untuk merekomendasikan lab bahasa. Saya sering bertanya mereka mengapa ingin memakan anggaran besar untuk membeli lab bahasa padahal sekolahnya masih relatif kecil. Jawabannya selalu sama, lab bahasa bukan isu yang terkait dengan program meningkatkan mutu pembelajaran, tetapi sekolah-sekolah lain yang mempunyai lab bahasa dan mempromosikan teknologinya mempunyai daya tarik tinggi dan sangat berhasil.

"Berhasil" dinilai dari jumlah pelajar dan penghasilan, bukan dari mutu pendidikannya. Akhirnya marketing untuk lab bahasa dan pentingnya (pentingnya untuk bisnis) ditingkatkan terus, masih sampai sekarang. Beberapa bulan yang lalu saya dikontak dari sekolah di Singapore oleh guru yang minta informasi mengenai lab bahasa. Walapun saya sebut bahwa ada beberapa strategi yang lebih murah dan efektif daripada lab bahasa dan beliau sendiri setuju, yang memiliki sekolah merasa status mempunyai lab bahasa masih adalah isu yang penting untuk bisnisnya.
Ref: http://educationtechnology.us/issues.html

Mengapa banyak pihak di bidang teknologi maupun pejabat masih medorong high-technology (misalnya e-learning) sebagai solusi untuk pendidikan walapun kenyatan di lapangan "Satu Komputer Untuk 2.000 Siswa" dan "dari jumlah total yang mencapai 200.000 sekolah, sekitar 182.500 sekolah tingkat SD, SMP, dan SMA se-Indonesia belum terakses internet" tidak mendukung atau memungkinkan melaksanakan progrmnya. Sebagai pendidik saya selalu tanya dimana hasil penelitian di Indonesia yang dapat mendukung statemen-statemen begini? Tetapi ini adalah pertanyaan yang kelihatannya tidak popular dan tidak perlu dijawab.

Hal lain yang perlu dipikirkan adalah mengapa bisnis-bisnis teknologi dan komunikasi sangat mendukung program seperti ini? Satu faktor yang saya baru menyaksikan di negara ini adalah pemerintah bekerjasama bisnis. Di negara maju pemerintah dan bisnis tidak boleh bergabung karena kesempatan yang ada untuk kolusi. Apakah bisnis dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah?

Menurut saya, isu utama terhadap profesi Teknologi Pendidikan adalah bagaimana merancang Kurikulum dan Pelatihan untuk Calon Teknologist Pendidikan di Indonesia yang sesuai dengan kenyataan dan kebutuhan di lapangan, tetapi menghadapi isu-isu lain?

Ada beberapa peran lain untuk e-Teknologi yang perlu diperhatikan, misalnya untuk mahasiswa-mahasiswi yang jauh dari kampusnya, atau yang harus menyesuaikan waktu untuk belajar dengan tugas kerja atau pertangunggjawaban sebagai Ibu Rumah Tangga.

Juga ada market multi-million Dolar untuk produk e-learning untuk pelatihan di industri maupun pendidikan tertentu di luar negeri. Sekarang sudah ada beberapa perusahaan di Indonesia yang sudah mulai berhasil mengekspor bahannya.

Tetapi kebutuhan SDM Teknologi pendidikan yang paling banyak dan paling penting (menurut saya) ada di sektor pendidikan umum yang oleh meningkatkan mutu pendidikan dengan "Appropriate Technology" di semua sekolah dapat sangat mempengaruhi masa depan bangsa kita.

Jelas merancang kurikulum yang tepat untuk Teknologi Pendidikan adalah sesuatu yang sangat kompleks tetapi sangat penting untuk menjaminkan TPers yang profesional dan siap untuk menghadapi semua tantangan maupun menggunakan semua kesempatan untuk meningkatkan mutu pendidikan di Indonesia. 

0 komentar:

Posting Komentar